Tuesday 4 September 2007

CUMA BUAT KAMU

by. Imagination

Terlintas dalam ingatanku kejadian lima tahun lalu saat aku berulang tahun yang kelima belas. Tepat sesaat sebelum aku diambil dari rumah panti asuhan dan diadopsi oleh sepasang suami istri yang tidak memiliki anak. “Sekarang aku sudah besar. Nah, sebelum aku pergi, katakan padaku, apa itu cinta?”, pintaku pada Renata, seorang yang kuanggap sebagai satu-satunya kakakku semenjak aku pertama kali tiba di panti asuhan itu. Awalnya Renata hanya diam. “Aku takkan mengatakan padamu apa itu cinta. Tapi aku akan menceritakanmu sebuah kisah tentang cinta”, katanya. Beberapa saat kemudian ia mulai bercerita:

Di sebuah kota kecil yang malam-malamnya terasa dingin, panjang, dan membosankan, seorang laki-laki tampan keluar dari sebuah toko pakaian, berjalan tergesa-gesa menyusuri trotoar. Kala itu malam belum terlalu larut, namun gerimis yang turun seolah mempercepat kelam. Sesekali kilat memercik dari atap langit membuat jalan aspal di depan berkilauan. Sekejap udara tampak terang benderang seperti pesta kembang api, lalu kembali gelap. Hanya lampu-lampu kota yang kian redup, pucat, dan menggigil kedinginan.

Tapi laki-laki tampan itu terus berjalan menyusuri trotoar yang lengang. Matanya yang indah terkadang mengerjap-ngerjap bahagia menatap gerimis yang terus berpendar. Langkahnya ringan bagaikan melayang. Dimasukinya sebuah jalan kampung dengan jantung berdebar seperti cinta yang baru mekar di dalam hatinya.

Cinta? Hmm, kata itu sering mendengung dalam kepalanya, seolah ia masih belum percaya jika sesuatu yang berkobar hangat penuh gairah rindu yang membakar seluruh perasaannya itu adalah cinta. Ya, cinta!! Kata itu meski terasa asing diucapkan, tapi begitu indah didengar. Telinganya mampu menangkap keindahan-keindahan itu hingga kadang ia hanyut, terlena dalam khayalan.

Maka, di toko pakaian tempat ia banyak menghabiskan hari-harinya, ia mulai senang mendengarkan lagu-lagu romantis. Senang mencuri dengar orang-orang yang kebetulan masuk toko dan bicara tentang cinta. Ia juga senang menatap berlama-lama pasangan-pasangan kekasih yang berjalan bergandengan tangan di trotoar seberang jalan di bawah tirai gerimis sepanjang malam. Semua begitu mengasyikkan. Ia ingin seperti mereka. Menumpahkan segenap rindu yang menyesak di dada. Meski ia sadar dirinya hanyalah sebuah manequin, boneka besar yang dipajang dalam toko dengan pakaian dan dandanan yang bagus-bagus, membuat gadis-gadis remaja dan ibu-ibu muda sering melotot berdecak kagum.

Ya, cinta itu pulalah yang kini menggerakkan kedua kakinya keluar dari toko, menyelinap diantara para pengunjung yang datang. Mereka menatap kagum dan sama sekali tidak sadar kalau dirinya sebuah manequin. Kekaguman telah membutakan kesadaran mereka. Ia sendiri merasa seperti mimpi. Sebelumnya ia tidak percaya jika cinta yang terus berkobar di dalam dadanya mampu membuat dirinya bergerak dan berjalan layaknya manusia. Memang, pada awalnya agak kaku dan berat sehingga ia harus hati-hati agar tidak jatuh. Tapi setelah berjalan cukup jauh langkahnya menjadi ringan seperti melayang.

Ia tidak tahu sejak kapan sebenarnya ia bisa berjalan seperti manusia. Yang ia ingat pada suatu hari seorang laki-laki datang ke toko, berjalan tergesa-gesa lalu tanpa sengaja menabrak dari belakang membuat ia sempoyongan mau rubuh. Beruntung ada seorang perempuan segera menahan tubuhnya. Ia tidak jadi jatuh. Tapi sentuhan lembut tangan perempuan itu tiba-tiba membuat tubuhnya bergetar hebat, seperti mengalirkan sebuah kekuatan. Mungkin sejak itu sebenarnya ia bisa berjalan, paling tidak menggerak-gerakkan tubuhnya.

Ah, ia juga teringat ketika beberapa hari kemudian perempuan itu datang lagi ke toko dan tanpa sengaja bersitatap dengannya. Darahnya langsung berdesir saat perempuan itu tersenyum lembut. Ia balas berkedip. Permpuan itu kemudian mendekatinya. Berhati-hati melangkah, seolah takut jika ada orang lain yang memperhatikannya. Aroma parfum perempuan itu kian membiuas hidungnya. Entah kenapa aroma parfum itu terasa begitu istimewa ketika yang memakai adalah perempuan itu. Masih tersenyum, perempuan itu berdiri satu langkah di depannya. Tapi ia tahu, perempuan itu sebenarnya sedang bersedih. Sorot matanya sayu, redup, seperti disaput kabut.

Tiba-tiba perempuan itu menyentuh tangannya lalu menciumnya. Ia kaget luar biasa. Ia belum pernah diperlakukan seperti itu. Ada perasaan asing yang menjalar dalam tubuhnya. Ia ingin balas menggenggam tangan perempuan itu lalu meraih tubuhnya dalam dekapan, seperti pasangan-pasangan kekasih yang sering ia lihat di trotoar seberang jalan. Tapi ia ragu apakah bisa ia melakukan hal itu. Ia sadar dirinya hanya sebuah manequin yang dipajang di pojok ruangan toko untuk memamerkan pakaian. Untuk kedua kalinya perempuan itu mencium tangannya. Berbalik, dan beranjak pergi. Ia masih ingat betapa pucat dan sendunya wajah perempuan itu.

Beberapa hari kemudian perempuan itu datang lagi ke toko. Sendirian. Mengenakan rok cokelat dan kaos putih dibalut jaket jeans. Perempuan itu tampak tergesa-gesa. Meraih tangannya dan memberikan secarik kertas berisikan sebuah alamat. Ia tidak tahu apa maksud perempuan itu. Tapi setelah hari-hari berlalu dan ia tak pernah lagi berjumpa dengan perempuan itu, sementara hatinya terus ditangkup rindu, ia sadar ia harus menemui perempuan itu.

Ya, kini ia memang sedang mencari rumah perempuan itu. Gerimis masih turun ketika ia menyusuri jalan kampung yang becek dan licin. Berkali-kali ia harus melompat menghindari genangan air. Cahaya lampu membius samar pada tembok-tembok kusam. Ia tak terbiasa berada di tempat seperti itu. Ia terus berjalan. Rindunya sudah tak tertahankan. Rumah demi rumah ia lalui dengan jantung terus berdebar.

Entah sudah berapa jauh ia berjalan, tapi rumah perempuan itu belum juga ia temukan. Beberapa perempuan berdandanan menor di pinggir jalan sempat menggodanya. Satu dua orang mencubitnya dengan gemas lalu tertawa cekikikan. Ia tak habis pikir kenapa begitu banyak perempuan berkeliaran di malam gerimis seperti itu. Mereka cantik-cantik, tapi ia tak tertarik dengan mereka. Ia hanya tertarik dengan perempuan cantik yang beberapa waktu lalu memberikan sebuah alamat padanya.

Ia membayangkan suatu kali bisa berkasih dengan perempuan itu. Ia sudah bosan jadi boneka berdiri kaku di pojok toko dengan pakaian dan dandanan yang berganti-ganti. Ia ingin menghabiskan malam-malam yang dingin dan panjang bersama perempuan itu. Ia ingin menikmati cinta yang berkobar hangat bersama perempuan itu. Begitu seterusnya. Ah, betapa indahnya. Betapa besar harapannya bila wanita itu menerima cintanya.

Tapi…tiba-iba ia menghentikan langkahnya di sebuah tikungan jalan sepi ketika dalam kelebat samar, ia menangkap sosok perempuan itu sedang berjalan sambil bergandengan mesra dengan seorang laki-laki. Ah, kenapa perempuan itu bersama laki-laki lain? Apa yang menarik dari laki-laki itu? Berbagai pertanyaan langsung memenuhi benaknya. Ia tak kuasa menahan diri. Jantungnya berdetak kencang menahan segala rasa dalam hatinya.

Ia terdiam, kaku, tak bergerak. Entah kemana perginya kekuatan yang menopangnya selama ini. Ia hanya bisa mengangkat tangannya berusaha menggapai bayangan perempuan itu yang semakin menghilang dalam kelamnya malam. Bergelayut mesra kepada seorang laki-laki..

Dengan perasaan tak menentu ia pulang menembus remang malam. Menerobos gerimis yang terus menderai. Langkahnya gontai tak bersemangat. Jiwanya merintih. Tubuhnya menggigil kedinginan. Dengan sisa-sisa kekuatan yang ada ia kembali menyelinap ke dalam toko. Kembali ke pojok ruangan tempat ia biasa berada. Di pojok ruangan toko ia hanya bisa diam. Diam dan meratapi semua yang pernah terjadi.

Hari-hari berlalu, ia masih terdiam di pojok ruangan dengan pakaian yang berganti-ganti untuk dipamerkan kepada pengunjung toko. Ia sudah tak bertenaga lagi. Ia tak dapat lagi berjalan. Ia tak dapat lagi bergerak. Sebab cinta sudah lenyap dari hatinya….

Begitulah, kekuatan cinta sejati mampu menghidupkan benda-benda mati. Sedang, cinta palsu hanya membuat seseorang seolah-olah hidup tapi sesungguhnya mati.

“Bagaimana, apakah kau sekarang memiliki gambaran tentang apa itu cinta?”, Tanya Renata setelah mengakhiri ceritanya. Aku hanya mengangguk ragu. Renata tersenyum, “Suatu saat kau pasti akan mengerti…”, katanya. Kemudian ia menerawang jauh kearah bintang-bintang yang bertaburan di langit.

just thought...

manusia ditakdirkan untuk selalu menghadapi berbagai pilihan dalam hidup...

nggak ada pilihan yang betul2 benar dan juga nggak ada pilihan yang betul2 salah...yang ada hanyalah seberapa besar kesiapan hati kita untuk menghadapi resiko akibat pilihan kita tersebut...

dan pada akhirnya kita hanya akan dihadapkan pada pilihan yang lain lagi...

believe in your heart,let it shows u the way...
my dear friend...