Saturday 29 November 2008

Catatan HPt: Sepotong Celana

Terinspirasi dari tulisan Andy F. Noya yg kemaren gw posting gw jd inget sebuah kejadian ketika gw masi kecil. Kejadian dimana gw sadar akan arti kalimat 'anak kecil tu ga kenal kata susah'...

Ketika gw masih SD,entah kelas 2 ato kelas 1 di perumahan gw jalanannya lg di aspal, n biasalah namanya juga anak2, gw ma temen2 yg laen maen2 disekitar alat2 berat yang di pake untuk ngaspal jalanan. Tertawa riang bermain bersama...
Sore harinya gw pulang ke rumah...dengan celana pendek yang belepotan kena aspal...

Sampe sekarang gw masih bisa ngbayangin dengan jelas gimana marahnya nyokap gw saat itu...dan seinget gw sampe ada sapu yg patah, piring yg pecah, dan kelapa yang terbelah -lebai mode on-

kemarahan nyokap gw bukan tanpa alasan...celana pendek yang gw pake itu adalah satu2nya celana pendek yg gw punya saat itu...dengan kata lain, dengan rusaknya celana pendek gw itu berarti gw dah ga punya celana pendek lg...

Gw sadar, kondisi keluarga gw bukanlah tipe keluarga yg mampu ngehambur2in duit untuk beli celana pendek...pengeluaran sesedikit apa pun harus bener2 diperhitungkan dengan akurat & tepat agar efektif, afektif, & infektif....nah lo,paan lg tuh?

Dan gw mengucapkan terima kasih yang sebesar2nya untuk tentangga gw, yang pada saat itu ada di TKP sehingga dapat menyaksikan kejadian bersejarah tsb...dan dia pulang cuma untuk ngambil celana pendek anaknya yg terus dikasi ke nyokap gw,katanya siy untuk gw....

keluarga gw ga mampu beli celana pendek
sedangkan tetangga gw mampu beli celana pendek

Bukankah perbedaan kaya dan miskin akan serasa sirna apabila kita dapat saling berbagi?

Dalam hal ini, keluarga gw (sebagai 'si miskin') bukan berarti akan selamanya menerima bantuan kayak gt ya...nyokap gw klo lg masak sesuatu pasti tetangga2 jg dibagi kok...
itulah yg gw bilang saling berbagi...

Dari kejadian itu gw bisa ngambil pelajaran:
1. Jangan maen2 ma aspal...coz klo lengket kena celana bakal susah ilangnya...bahkan bisa2 celana lo jd rusak.
2. Sedia persediaan celana pendek yg banyak, jd klo kenapa2 lo ga perlu minta ke tetangga...n klo misalnya tetangga lo yg kenapa2, lo bisa bantuin.
3. Jadilah tetangga yg baik...klo masak sesuatu, jangan lupa bagi2 gw ya...

Yaapp...begitu lah sekelumit cerita tentang masa kecil gw yg bodoh...
Nantikan catatan2 refleksi gw yg lainnya ya... ^^

My Gratitude,
-HPtSedangNostalgila-

Wednesday 26 November 2008

Catatan Andy F. Noya: 'Kaca Spion'


Semalem gw browsing2...ngga sengaja gw baca sebuah artikel yg berisi tulisan dari Andy F. Noya.
FYI, Andi F. Noya tu adalah seorang reporter senior yang terkenal coz acara Metro TV yg judulnya "Kick Andy"...satu hal yg harus diperhatikan disini adalah, 'Kick Andy' itu sama sekali engga bermakna bahwa lo harus nendang semua orang yg bernama 'Andy' ya...

Berikut nukilan dari tulisan Andy tsb...Mari termenung dan merenung....


Kaca Spion: Catatan Andy Noya (kick Andi)

Sejak bekerja saya tidak pernah lagi berkunjung ke Perpustakaan Soemantri Brodjonegoro di Jalan Rasuna Said, Jakarta.

Tapi, suatu hari ada kerinduan dan dorongan yang luar biasa untuk ke sana . Bukan untuk baca buku, melainkan makan gado-gado di luar pagar perpustakaan. Gado-gado yang dulu selalu membuat saya ngiler.

Namun baru dua tiga suap, saya merasa gado-gado yang masuk ke mulut jauh dari bayangan masa lalu. Bumbu kacang yang dulu ingin saya jilat sampai piringnya mengkilap, kini rasanya amburadul.

Padahal ini gado-gado yang saya makan dulu.
Kain penutup hitamnya sama.
Penjualnya juga masih sama.


Tapi mengapa rasanya jauh berbeda?
Malamnya, soal gado-gado itu saya ceritakan kepada istri. Bukan soal rasanya yang mengecewakan, tetapi ada hal lain yang membuat saya gundah.


Sewaktu kuliah, hampir setiap siang, sebelum ke kampus saya selalu mampir ke perpustakaan Soemantri Brodjonegoro. Ini tempat favorit saya. Selain karena harus menyalin bahan-bahan pelajaran dari buku-buku wajib yang tidak mampu saya beli, berada di antara ratusan buku membuat saya merasa begitu bahagia.

Biasanya satu sampai dua jam saya di sana. Jika masih ada waktu, saya melahap buku-buku yang saya minati. Bau harum buku, terutama buku baru, sungguh membuat pikiran terang dan hati riang.

Sebelum meninggalkan perpustakaan, biasanya saya singgah di gerobak gado-gado di sudut jalan, di luar pagar. Kain penutupnya khas, warna hitam. Menurut saya, waktu itu, inilah gado-gado paling enak seantero Jakarta . Harganya Rp 500 sepiring sudah termasuk lontong.
Makan sepiring tidak akan pernah puas. Kalau ada uang lebih, saya pasti nambah satu piring lagi.

Tahun berganti tahun. Drop out dari kuliah, saya bekerja di Majalah TEMPO sebagai reporter buku Apa dan Siapa Orang Indonesia . Kemudian pindah menjadi reporter di Harian Bisnis Indonesia . Setelah itu menjadi redaktur di Majalah MATRA. Karir saya terus meningkat hingga menjadi pemimpin redaksi di Harian Media Indonesia dan Metro TV.


Sampai suatu hari, kerinduan itu datang. Saya rindu makan gado-gado di sudut jalan itu. Tetapi ketika rasa gado-gado berubah drastis, saya menjadi gundah. Kegundahan yang aneh. Kepada istri saya utarakan kegundahan tersebut.

Saya risau saya sudah berubah dan tidak lagi menjadi diri saya sendiri. Padahal sejak kecil saya berjanji jika suatu hari kelak saya punya penghasilan yang cukup, punya mobil sendiri, dan punya rumah sendiri, saya tidak ingin berubah. Saya tidak ingin menjadi sombong karenanya.


Hal itu berkaitan dengan pengalaman masa kecil saya di Surabaya.
Sejak kecil saya benci orang kaya. Ada kejadian yang sangat membekas dan menjadi trauma masa kecil saya. Waktu itu umur saya sembilan tahun. Saya bersama seorang teman berboncengan sepeda hendak bermain bola. Sepeda milik teman yang saya kemudikan menyerempet sebuah mobil. Kaca spion mobil itu patah.


Begitu takutnya, bak kesetanan saya berlari pulang. Jarak 10 kilometer saya tempuh tanpa berhenti. Hampir pingsan rasanya. Sesampai di rumah saya langsung bersembunyi di bawah kolong tempat tidur.

Upaya yang sebenarnya sia-sia. Sebab waktu itu kami hanya tinggal di sebuah garasi mobil, di Jalan Prapanca. Garasi mobil itu oleh pemiliknya disulap menjadi kamar untuk disewakan kepada kami. Dengan ukuran kamar yang cuma enam kali empat meter, tidak akan sulit menemukan saya. Apalagi tempat tidur di mana saya bersembunyi adalah satu-satunya tempat tidur di ruangan itu.

Tak lama kemudian, saya mendengar keributan di luar. Rupanya sang pemilik mobil datang. dengan suara keras dia marah-marah dan mengancam ibu saya. Intinya dia meminta ganti rugi atas kerusakan mobilnya.


Pria itu, yang cuma saya kenali dari suaranya yang keras dan tidak bersahabat, akhirnya pergi setelah ibu berjanji akan mengganti kaca spion mobilnya. Saya ingat harga kaca spion itu Rp 2.000. Tapi uang senilai itu, pada tahun 1970, sangat besar. Terutama bagi ibu yang mengandalkan penghasilan dari menjahit baju. Sebagai gambaran, ongkos menjahit baju waktu itu Rp 1.000 per potong. Satu baju memakan waktu dua minggu. Dalam sebulan, order jahitan tidak menentu. Kadang sebulan ada tiga, tapi lebih sering cuma satu. Dengan penghasilan dari menjahit itulah kami - ibu, dua kakak, dan saya - harus bisa bertahan hidup sebulan.

Setiap bulan ibu harus mengangsur ganti rugi kaca spion tersebut. Setiap akhir bulan sang pemilik mobil, atau utusannya, datang untuk mengambil uang. Begitu berbulan-bulan. Saya lupa berapa lama ibu harus menyisihkan uang untuk itu. Tetapi rasanya tidak ada habis-habisnya.

Setiap akhir
bulan, saat orang itu datang untuk mengambil uang, saya selalu ketakutan. Di mata saya dia begitu jahat.
Bukankah dia kaya?
Apalah artinya kaca spion mobil baginya?
Tidakah dia berbelas kasihan melihat kondisi ibu dan kami yang hanya menumpang di sebuah garasi?


Saya tidak habis mengerti betapa teganya dia. Apalagi jika melihat wajah ibu juga gelisah menjelang saat-saat pembayaran tiba. Saya benci pemilik mobil itu. Saya benci orang-orang yang naik mobil mahal. Saya benci orang kaya.

Untuk menyalurkan kebencian itu, sering saya mengempeskan ban mobil-mobil mewah. Bahkan anak-anak orang kaya menjadi sasaran saya. Jika musim layangan, saya main ke kompleks perumahan orang-orang kaya. Saya menawarkan jasa menjadi tukang gulung benang gelasan ketika mereka adu layangan. Pada saat mereka sedang asyik, diam-diam benangnya saya putus dan gulungan benang gelasannya saya bawa lari. Begitu berkali-kali. Setiap berhasil melakukannya, saya puas. Ada dendam yang terbalaskan.

Sampai remaja perasaan itu masih ada. Saya muak melihat orang-orang kaya di dalam mobil mewah. Saya merasa semua orang yang naik mobil mahal jahat. Mereka orang-orang yang tidak punya belas kasihan. Mereka tidak punya hati nurani.

Nah, ketika sudah bekerja dan rindu pada gado-gado yang dulu semasa kuliah begitu lezat, saya dihadapkan pada kenyataan rasa gado-gado itu tidak enak di lidah. Saya gundah. Jangan-jangan sayalah yang sudah berubah. Hal yang sangat saya takuti.

Kegundahan itu saya utarakan kepada istri.
Dia hanya tertawa. ''Andy Noya, kamu tidak usah merasa bersalah. Kalau gado-gado langgananmu dulu tidak lagi nikmat, itu karena sekarang kamu sudah pernah merasakan berbagai jenis makanan. Dulu mungkin kamu hanya bisa makan gado-gado di pinggir jalan. Sekarang, apalagi sebagai wartawan, kamu punya kesempatan mencoba makanan yang enak-enak. Citarasamu sudah meningkat,'' ujarnya.

Ketika dia melihat saya tetap gundah, istri saya mencoba meyakinkan,
"Kamu berhak untuk itu. Sebab kamu sudah bekerja keras."

Tidak mudah untuk untuk menghilangkan perasaan bersalah itu. Sama sulitnya dengan meyakinkan diri saya waktu itu bahwa tidak semua orang kaya itu jahat.


Dengan karir yang terus meningkat dan gaji yang saya terima, ada ketakutan saya akan berubah. Saya takut perasaan saya tidak lagi sensisitif. Itulah kegundahan hati saya setelah makan gado-gado yang berubah rasa. Saya takut bukan rasa gado-gado yang berubah, tetapi sayalah yang berubah. Berubah menjadi sombong.

Ketakutan itu memang sangat kuat.
Saya tidak ingin menjadi tidak sensitif. Saya tidak ingin menjadi seperti pemilik mobil yang kaca spionnya saya tabrak.

Kesadaran semacam itu selalu saya tanamkan dalam hati.
Walau dalam
kehidupan sehari-hari sering menghadapi ujian.
Salah satunya ketika mobil saya ditabrak sepeda motor dari belakang. Penumpang dan orang yang dibonceng terjerembab. Pada siang terik, ketika jalanan macet, ditabrak dari belakang, sungguh ujian yang berat untuk tidak marah. Rasanya ingin melompat dan mendamprat pemilik motor yang menabrak saya.

Namun, saya terkejut ketika menyadari yang dibonceng adalah seorang ibu tua dengan kebaya lusuh.
Pengemudi motor adalah anaknya. Mereka berdua pucat pasi. Selain karena terjatuh, tentu karena melihat mobil saya penyok.

Hanya dalam sekian detik bayangan masa kecil saya melintas. Wajah pucat itu serupa dengan wajah saya ketika menabrak kaca spion.


Wajah yang merefleksikan ketakutan akan akibat yang harus mereka tanggung. Sang ibu, yang lecet-lecet di lutut dan sikunya, berkali-kali meminta maaf atas keteledoran anaknya. Dengan mengabaikan lukanya, dia berusaha meluluhkan hati saya. Setidaknya agar saya tidak menuntut ganti rugi.

Sementara sang anak terpaku membisu. Pucat pasi. Hati yang panas segera luluh. Saya tidak ingin mengulang apa yang pernah terjadi pada saya.
Saya tidak boleh membiarkan benih kebencian lahir siang itu. Apalah artinya mobil yang penyok berbanding beban yang harus mereka pikul.


Maka saya bersyukur. Bersyukur pernah berada di posisi mereka. Dengan begitu saya bisa merasakan apa yang mereka rasakan. Setidaknya siang itu saya tidak ingin lahir sebuah benih kebencian. Kebencian seperti yang pernah saya rasakan dulu. Kebencian yang lahir dari pengalaman hidup yang pahit.


Refleksi:
Mengapa harus sombong dengan kekayaan yang kita miliki, karena kekayaan tiada berguna sama sekali, lebih baik menghidupkan lagi rasa toleransi yang ada pada diri untuk kehidupan masyarakat yang lebih baik.

(Dikutip dari Tulisan Andy F.Noya)

My Gratitude
-HPtSedangTermenung-

Sunday 16 November 2008

Road to the S I D A N G . . .

Jadi orang yg nocturnal ternyata mengubah pola hidup gw...uugh...
bukannya gw ngeluh,tapi gw bakalan kerepotan klo ada sesuatu yang harus diurus pagi-pagi.

Hal itu kerasa banget pada waktu hari2 gw mo daftar sidang skripsi gw.
Betapa repotnya ngadepin kenyataan bahwa gw tu ga bisa bangun pagi demi mengurus syarat2 yg harus gw penuhi utk ngedaftar sidang. Bbrp diantaranya yg bener2 ngerepotin gw adalah:

1. Kartu bebas (perpus fakultas,perpus universitas,n koperasi mahasiswa)
Buat gw yg slalu bangun diatas jam 11 pagi (buat gw jam 11 tu masih pagi...) sebuah prosedur adalah hal yg menyebalkan. 'Bangun pagi' adalah kunci dalam ngurus administrasi supaya jadi cepet...nah paginya gw kan jam 11an tuh,blom lg guling2nya dulu,ngucek2 mata dulu,kentut2 dulu...trus mandi deh,jadi paling engga gw ke kampusnya jam 12an...dan begitu sampai di bagian administrasi Kopma di kampus,yg gw dapetin cuman tulisan 'Sedang Istirahat (12.00 WIB - 13.00 WIB)'

Sebenernya klo ngurus kartu bebas perpus fakultas n koperasi tu termasuk gampang lho,soalnya tempatnya ada di kampus pleburan...nah yg jadi masalah adalah gw harus ke tembalang utk ngurus kartu bebas perpus univ...scheisse!! Jauhnya naujubile...mana semarang kan klo siang udah kayak di gurun sahara gt panasnya....waa para la pkonya..

2. Lembar pengesahan yg ditandatanganin dosen pembimbing I dan II
Hal yang paling susah adalah bikin janji,n MENUNGGU....'menunggu' disini bukan judul lagu ya,tp bener2 nungguin.

Inilah salah satu contoh susahnya bikin janji & menunggu:

Gw:
Siang pak...siang ini saya bisa ketemu bapak ngga?
Dosen: O iya,emang ada apa?
Gw: minta tandatangan untuk halaman pengesahan pak
Dosen: Loh,pengesahan apa?
Gw: Ya skripsi saya lah pak.
Dosen: Ooo...iya,nanti tunggu di ruangan saya aja ya jam 2an.

dan akhirnya gw nungguin jam 2 siangnya.
jam 2 lewat 15 menit
jam 2 lewat 30 menit
jam 2 lewat 45 menit
akhirnya.....jam 3 lewat 30 menit

terpaksa gw telpon lg:
Gw: Pak,saya sudah diruangan bapak...bapak dimana?
Dosen: Loh....emg kmu mau ngapain?
....Dan gw mulai berpikir untuk nanem ranjau di ruangannya....

Gw: Minta tandatangan pak (dengan penuh kesabaran)
Dosen: Hooo...mbok bilang dari tadi...ya udah gini aja,besok jam 8 pagi temuin saya di ruangan saya ya
...dan gw mulai berpikir untuk lari ke warnet utk donlot 'panduan merakit bomb dengan bahan dasar kotoran kuda'...n gw rasa format .pdf-nya juga ada kok....

Besoknya,setelah gw ngebujuk2 5 orang temen gw untuk ngemiscall hp gw dr jam 7 mpe jam 8...akhirnya dengan susah payah gw bisa bangun...tepat jam 8 lewat 15 menit...
Akhirnya setelah mandi ala bebek gw langsung meluncur ke kampus.

Gw: Pagi pak...
Dosen: Maaf,cari siapa ya?
Gw: (dengan sedikit dongkol...n pengen nginjek sepatu tu dosen) Saya mo minta tandatangan bapak
Dosen: Ouw iya...sini...

dan akhirnya dapet lah gw tandatangan...sebuah perjuangan yang berat untuk coretan melengkung yang ga jelas dari tu dosen...

3. Surat permohonan sidang yg ditandatanganin dosen wali
Dosen wali gw orangnya baek...tp ada 1 masalah: Dia lg ngambil pendidikan S3 di Jakarta. Mampuusss gw!!! Setelah beberapa kali gw telpon dan gw bujuk,akhirnya dia mau juga dateng ke semarang...untuk ngehadirin acara kawinan tetangganya....
Dan gw terpaksa dateng ke acara kawinan itu sambil belagak kayak orang kondangan,cuma bedanya kali ini gw bawa2 map...

Dan akhirnya ditandatangani lah surat permohonan gw...dan yang bikin gw seneng adalah gw jg dapet makan gratis...

4. Transkrip nilai yg juga harus ditandatanganin dosen wali plus Pembantu Dekan I
Berhubung Pembantu Dekan I gw adalah Blogger juga,makanya ga gw ceritain dulu ah...takut ketauan gw,hihihi...soalnya dia juga bakal ikut nyidang gw...

Ga seru dong klo gw dibantai duluan sebelom sidang,huu...huu...

Dan....
Akhirnya,gw mengumpulkan berkas pendaftaran tepat 1 hari sebelum deadline pendaftaran sidang gelombang I.

Beberapa hari kemudian gw ke kampus.
Dan gw ngebaca sebuah pengumuman:
"Sidang gelombang I digabung dengan Sidang gelombang II
pendaftaran sidang gelombang II dibuka tanggal 20 Nov - 5 Des '08.
Pelaksanaan sidang tanggal 16-17 Desember"

Dan gw ngerasa perjuangan gw yang berpacu dengan waktu selama ini sia2...Bayangin aja,gw nyelesein skripsi cuman dalam tempo 2 bulan...sedangkan untuk sidang aja gw malah harus nunggu 3 bulan...

KamPpreeeettzZ....!!!


My Gratitude
-HPtSedangMenunggu-

Thursday 6 November 2008

Nilai Sebuah Egoisme...


Udah lama gw ga posting...
bawaannya maleeees mulu....maklum gw kan emg pemalas.

Ciyee...judulnya sok serius gt ya
Tp emang kali ini gw pengen nulis sesuatu yang serius siy ^^
Tulisan gw kali ini gw persembahkan ma semua orang yg ngerasa dirinya pujangga,sastrawan,n blogger...serta semua orang yang ngaku suka menulis.

Beberapa malem yg lalu insomnia gw kumat lagi,parah bgt,mpe jam 3 pagi gw masi blom bisa merem...

Iseng2 aja gw ngeliatin rak buku gw. pandangan mata gw tiba2 tertuju ama "Balada Si Roy" karangan si om Gola Gong (FYI,ni novel punya si Basar...3 thn lalu gw pinjem n smpe skrg blom gw balikin...soalnya novelnya keren siy ^^)

Balada Si Roy ni nyeritain tentang remaja dengan segala permasalahannya,dan dia ngajalanin masa mudanya dengan melakukan perjalanan dari 1 kota ke kota lain...klo gw bilang siy,si Roy sendiri merupakan gambaran dari masa muda Gola Gong sendiri...dimana dia berpetualang dengan melakukan perjalanan keliling Indonesia di akhir taun 80'an & keliling Asia diawal taun 90'an..
Hmm...gw jadi inget ma petualangan yg selama ini pernah gw jalanin,walo ga sedahsyat Gola Gong siy..

Trus mata gw beralih lagi...

kali ini pandangan gw tertuju ama "Sang Nabi"-nya Kahlil Gibran...Cerita tentang seorang Nabi yang akan kembali dari pengasingannya...Al Mustafa,seorang nabi nan bijak yang membagi kebijaksanaannya...
Gw inget,gw beli (kali ini gw BELI) ni buku pas gw masi SMP...waktu itu ni buku cuman seharga Rp.16.500...gtw deh sekarang tu buku harganya berapa.

Disebelahnya gw liat...

"Menolak Tunduk" karangan Budiman Sudjatmiko...seorang idealis muda yg nulis buku ini pas dia masih jadi tahanan politik,kata pengantar buku ini ditulis oleh Xanana Gusmao...pejuang kemerdekaan Timor Leste,yang saat itu juga masih jadi tahanan politik n dikurung bersebelahan ama selnya Budiman Sudjatmiko...
Yaah,gw akui...idealisme gw sedikit terpengaruh ama buku ini juga siy...

Ngomongin sebuah idealisme...
Gw yakin banyak orang yg udah kenal ama sosok seorang Soe Hok Gie...dia nulis buku "Catatan Seorang Demonstran",yg kemudian diangkat jadi film layar lebar dengan judul 'GIE', Di situ ada sebuah quote yg cukup populer,yg menandakan idealisme Gie (gw juga setuju siy): "Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan..."

Gw kadang berpikir...
Kenapa pejuang2 intelektual yg pernah mewarnai perjuangan negri ini sering kali berasal dari kalangan sastrawan???
Kemana aja orang2 Hukum ato orang2 Politik??

Jawabannya ya cuman satu: EGOISME
Bagi seorang sastrawan,ketidakadilan atau penindasan adalah sebuah inspirasi...ibarat ulat-ulat yang memakan bangkai...akan semakin terus bertambah jumlahnya...
Ingatlah Soe Hok Gie...
Ingatlah Widji Thukul...
dan masih banyak lagi sastrawan2 pemikir lainnya.

Pernah baca "Manifesto Khalifatullah" karangan Akhadiat K. Mihardja??
Sastrawan berusia 90 tahun yg sekarang tinggal di Australia ini secara tersirat ngegambarin perjalanan hidupnya sebagai seorang pujangga...Dalam buku itu dia menggambarkan berbagai bentuk idealisme dalam sebuah karakter2 seseorang. Dan ga cuma itu,dia juga ngegambarin pemikiran2 dari pujangga2 lainnya beserta karakteristik pujangga tersebut.

Beliau menggambarkan semua itu dalam bentuk sebuah perjalanan hidup. Entahlah,mungkin itu semua merupakan klimaks dari seluruh pengalaman beliau menjadi pujangga yang telah melewati berbagai kondisi,baik politik,ekonomi,maupun sosial dan budaya trans-nasional.

Disitu beliau menghadirkan berbagai pujangga yang pernah mengisi lembaran sejarah sastra negeri ini...Amrijn Pane,seorang pujangga beraliran mistis digambarkan bercengkrama akrab dengan Chairil Anwar,seorang pujangga yang mengutamakan kebebasan. Yang gw rasa ga mungkin,coz keduanya kan emang berasal dari generasi yang berbeda.

Gw jadi inget ama temen gw,namanya Yussie...dia ni seniman Semarang (seniman asli loh),kebetulan dia tu kakak kelas gw pas SMA.
Gw ma dia punya prinsip yg sama dalam menulis:
"Kita menulis bukan untuk dibaca oleh orang lain...kita menulis untuk memuaskan ego kita sendiri"

Yaah,mungkin disitulah letak dari ke'EGOis'an seorang pujangga.
atau seorang penulis...atau bahkan seorang blogger kecil seperti gw...

Nikmatin aja semua yang sedang kita lakukan ^^

Huuffss...udah jam 04.30 WIB...
di TV pun liga champion-nya udah slese
Real Madrid kalah 0-2 dari Juventus

Saatnya gw balik n tidur...


My Gratitude,
-HPtSedangMerenung-